Rasulullah saw menganjurkan agar berpuasa di hari-hari diluar bulan
Ramadhan, diantaranya adalah hari asy Syura, sebagaimana diriwayatkan
dari Muawiyah bin Abu Sofyan berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda,’Sesungguhnya ini adalah hari asy Syura dan tidaklah diwajibkan
terhadap kalian untuk berpuasa (di hari ini). Dan aku saat ini berpuasa
maka barangsiapa yang ingin berpuasa (maka berpuasalah) dan barangsiapa
yang ingin berbuka (tidak berpuasa) maka berbukalah.” (Muttafaq Alaihi)
Berpuasanya Rasulullah saw pada hari asy Syura adalah disebabkan
bahwa Musa as telah berpuasa pada hari itu. Dan hari itu adalah hari
diselamatkannya Musa dari Fir’aun. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
berkata,”Ketika Nabi saw memasuki kota Madinah beliau saw menyaksikan
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari asy Syura. Beliau berkata,”Ada apa
ini?” mereka menjawab,”Hari baik, di hari ini Allah telah menyelamatkan
Musa dan Bani Israil dari musuh-musuh mereka dan Musa berpuasa (di hari
ini).” Lalu Nabi saw bersabda,”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian.” Maka beliau saw pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.”
(Muttafaq Alaihi)
Dari Abu Musa al Asy’ariy berkata,”Hari asy Syura’ diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan mereka pun menjadikannya sebagai hari raya. Dan
Rasulullah saw bersabda,’Berpuasalah kalian (di hari ini).” (Muttafaq
Alahi).
Imam An Nawawi menjelaskan, para ulama bersepakat bahwa hukum
berpuasa pada hari ‘Asyura adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka
berselisih mengenai hukum puasa Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika
disyariatkannya puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan.
Menurut Imam Abu Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam
adalah wajib. Sedangkan dalam Syafi’iyah ada dua pendapat yang masyhur.
Yang paling masyhur, yang menyatakan bahawa hukum puasa Asyura semenjak
disyariatkan adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib.
Namun dulu, puasa Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketika puasa Ramadhan disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan
namun tidak seperti pertama kalinya.
Pendapat kedua dari Syafi’iyah adalah yang menyatakan hukum puasa
Asyura di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua ini sama dengan
pendapat Abu Hanifah. (Syarh Shohih Muslim, 4/114)
Yang jelas, hukum puasa Asyura kini adalah sunnah dan bukanlah
wajib. Namun, hendaklah kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang
sangat utama ini, apalagi melihat ganjaran yang begitu melimpah.
Lebih Baik Lagi Ditambah Berpuasa Pada Tanggal 9 Muharram
Sebagaimana dijelaskan (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir
umurnya, Nabi SAW bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan
Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun Nabi SAW tiba-tiba
meninggal sebelum sempat melakukan puasa pada hari itu.
Lalu bagaimana hukum melakukan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut penjelasan An Nawawi rahimahullah.
Imam Syafi’i dan pengikutnya (Syafi’iyyah), Imam Ahmad, Ishaq dan
selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari
ke 9 dan ke 10 sekaligus; karena Nabi SAW berpuasa pada hari kesepuluh
dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.
Apa hikmah Nabi SAW menambah puasa pada hari kesembilan? Imam Nawawi menjelaskan.
Sebahagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi bepuasa pada hari ke 10 sekaligus ke 9 adalah agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ke 10 saja.
Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada
juga yang mengatakan bahawa hal ini untuk berhati-hati, siapa tahu
salah dalam penentuan hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat
yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak
menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam.
(Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 4/121)
Ibnu Rojab mengatakan, “Di antara ulama yang menganjurkan
berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam
Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Imam Abu Hanifah
memakruhkan berpuasa pada hari sepuluh saja (tanpa hari kesembilan).”
Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus iaitu pada
tanggal 9 dan 10 Muharram. Inilah tingkatan yang paling utama.
Sedangkan berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja adalah tingkatan di
bawah tingkatan pertama tadi. Inilah yang dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar
Ruhailiy hafizhohullah dalam kitab beliau Tajridul Ittiba’.
Apakah Perlu Ditambah Berpuasa pada Tanggal 11 Muharram?
Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari
ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas. Nabi SAW bersabda, “Puasalah pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu ‘Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al
Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah).
Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy
dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari
‘Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau berkata, “Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari ke 9 dan ke 10 Muharram.” (Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan hanya sampai sahabat).
Namun, hal ini bukan bererti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidak
dianjurkan. Dalam rangka kehati-hatian dalam penentuan awal Muharram,
kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11
Muharram.
Dalam riwayat Al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada perselisihan dalam penentuan hilal, saya berpuasa selama tiga hari (9, 10 dan 11 Muharram) dalam rangka hati-hati.”
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa
pada 10 Muharram. Dan lebih baik lagi jika kita dapat berpuasa sehari
sebelumnya untuk menyelisihi Yahudi. Atau mungkin jika khuatir kerana
ada perselisihan dalam penentuan hilal, kita tambahkan dengan berpuasa
pada tanggal 11 Muharram.
Mari kita ajak saudara-saudara kita untuk melakukan puasa ‘Asyura.
"Mencorak Suasana Dengan Islam"
No comments:
Post a Comment